Kamis, 23 Februari 2012

ORANGUTAN MENJADI AGRESIF DENGAN ADANYA KEGIATAN WISATAWAN


 

Oleh : Dewi Rebecca Nury



Benarkah wisata selalu menguntungkan bagi semua pihak, terutama dilihat dari perilaku satwa?

Itulah pertanyaan yang ingin dijawab melalui pelaksanaan penelitian ini. Saya yakin bahwa kita semua sudah mengetahui bahwa orangutan itu adalah salah satu satwa asli Indonesia (endemik) yang sangat terancam punah. Sudah berbagai upaya yang dilakukan dalam usaha penyelamatan orangutan, namun terkadang tanpa disadari usaha ini kurang tepat atau bahkan dapat berdampak negatif bagi satwa itu sendiri. Salah satu usaha ini adalah dengan mengembangkan wisata di dalam kawasan pelepasliaran orangutan. Sekilas dari segi ekonomi, wisata sangat menguntungkan, akan tetapi apabila tidak dikelola dengan baik satwa akan menjadi agresif bahkan membahayakan keselamatan manusia itu sendiri.

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang sama-sama merupakan lokasi pelepasliaran orangutan, yaitu Camp Leakey di Taman Nasional Tanjung Puting yang ramai dikunjungi orangutan dan Camp Siswoyo di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan wisata. Diperkirakan bahwa perilaku orangutan di kawasan yang tidak ada wisata lebih mendekati perilaku alami orangutan liar atau bukan eks rehabilitan dan berperilaku agresif daripada perilaku orangutan yang berada di kawasan wisata. Data yang dicari dalam penelitian ini adalah jenis dan aktivitas wisatawan serta perliku orangutan yang dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu pengamatan perilaku harian orangutan secara kontinyu mulai saat orangutan bangun tidur pada pagi hari atau shubuh sampai ia tidur kembali pada sore hari dan pengamatan langsung terhadap wisatawan pada saat mereka berada di lokasi maupun secara tidak langsung dengan kuisioner.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas utama pengujung ke Camp Leakey adalah untuk melihat orangutan. Selain itu, sebagian besar pengunjung berasal dari luar negeri. Apabila dilihat dari segi perilaku harian, orangutan di Camp Leakey memiliki perilaku harian yang berbeda dengan perilaku orangutan liar apabila dibandingkan dengan orangutan di Camp Siswoyo serta cenderung lebih agresif ketika bertemu dengan manusia. Bahkan orangutan akan menyerang pengunjung. Setiap hari pengunjung yang datang untuk melihat orangutan dapat mencapai puluhan, sedangkan pengunjung-pengunjung ini tidak mematuhi peraturan yang sudah ada. Orangutan diberi makan, dipeluk, bahkan digendong. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya yang perlu ditanyakan adalah SIAPAKAH YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERUBAHAN PERILAKU ORANGUTAN? Wisata di Camp Leakey sangat perlu dipertanyakan kelayakannya untuk mendukung usaha konservasi orangutan, sehingga perlu dikembangkan ekowisata satwa liar, dalam hal ini ekowisata yang mendukung konservasi orangutan.

Judul asli skripsi:  Pengaruh Wisatawan Terhadap Perilaku Orangutan (Pongo Pygmaeus) Di Lokasi Pelepasliaran Camp Leakey Dan Camp Siswoyo, Kalimantan Tengah
email: cutezzy_87@yahoo.com

Senin, 20 Februari 2012

BURUNG SEBAGAI BIOINDIKATOR DI KAWASAN PERKOTAAN

oleh:
Febri Anggriawan Widodo


Apa yang anda ketahui tentang keberadaan satwa burung dikawasan perkotaan? Burung merupakan satwa yang mudah beradaptasi dan mampu hidup diberbagai kondisi habitat salah satunya di kawasan perkotaan. Satwa ini dapat menjadi bioindikator lingkungan sehingga sangat mungkin digunakan sebagai Early Warning System.  


“Kirik – kirik biru berdasarkan literatur sangat jarang ditemui di Sunda Besar. Mengapa ini bisa ditemui di lokasi penelitian ini?”


  
Nah, satwa burung dapat digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan seperti pada penelitian yang berjudul “Keanekaragaman Jenis Burung Serta Nilai Konservasi Berbagai Penggunaan Lahan Perkotaan di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Hasilnya sebagai acuan terhadap Rencana Tata Ruang di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga dapat diketahui dari komposisi serta kehadiran satwa burung pada berbagai penggunaan lahan perkotaan yang ada. Lokasinya. Berdasarkan penggunaan lahanya kawasan ini dibagi menjadi delapan klaster sesuai penggunaan lahan yang ada. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Point Counts yaitu pengamatan tiap jarak 200 meter dengan cara mencatat semua jenis burung yang masuk dalam radius 30 meter selama 10 menit pada waktu pagi dan sore. Mudah bukan?



Peta hasil evaluasi tata ruang berdasarakan keanekaragaman jenis burung dan nilai konservasinya

Penelitian ini menunjukkan peran manusia melalui penggunaan lahan sangat besar terhadap Keanekaragaman satwa burung. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa kawasan perkotaan sangat jarang ditemui beragam jenis burung. Namun penelitian ini menunjukkan hasil sebaliknya dengan jenis burung perkotaan yang sangat beragam, mulai dari jenis pemakan biji hingga jenis pemakan ikan dan terdiri dari 32 jenis seperti Burung gereja eurasia, Cekakak jawa, Kipasan belang, bahkan Kirik – kirik biru yang sangat jarang ditemui di Sunda Besar.  Kawasan yang memiliki tutupan vegetasi yang tinggi seperti sempadan sungai dan ruang terbuka hijau mampu menjaga keberadaan satwa burung. Selain itu kawasan yang dijaga vegetasinya serta dilindungi dari aktifitas perburuan mampu menjadi sanctuary dan refuge terhadap satwa burung seperti di kawasan pusat pemerintahan yaitu pendopo Kabupaten Kudus. Oleh karena itu untuk menjaga keanekaragaman satwa burung perkotaan, didalam Rencana Tata Ruang Kota yang ada harus mampu menjaga keberadaan satwa ini dan habitatnya.  Penelitian ini menarik karena mampu memadukan unsur tata ruang baik struktur maupun pola ruang dengan unsur keanekaragaman hayati.
Judul Asli skripsi: Keanekaragaman Jenis Burung dan Nilai Konservasi Berbagai Penggunaan Lahan Perkotaan di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus.
email :