Senin, 20 Januari 2014

Mengejar Makanan atau Menghindari Predator: Kehidupan Monyet Ekor Panjang di Hutan Kering dan di bawah Ancaman Biawak Komodo




Monyet... Siapa tak kenal monyet? Satwa yang bernama asli Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) ini memang lebih dikenal dengan Si Topeng Monyet. Primata ini banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ia banyak berjasa bagi penelitian biomedis dan psikologi. Namun siapa sangka, si monyet nan lucu ternyata memiliki peran besar dalam ekosistem hutan. Ia mampu menyebarkan benih tumbuhan dari biji buah-buahan yang dikeluarkan bersama kotorannya. Ia juga memakan binatang lain seperti kepiting dan serangga sehingga turut menjaga rantai makanan. Kemampuan adaptasinya yang tinggi, membuat Monyet Ekor Panjang mampu hidup di berbagai tipe habitat, dari daerah pantai hingga pegunungan, hutan tropis basah hingga hutan tropis kering. Namun sayangnya, sangat sedikit pengetahuan tentang kehidupan monyet di alam, khususnya yang hidup liar di ekosistem kering, seperti di daerah Nusa Tenggara Timur.  

Salah satu predator penting dari monyet ekor panjang adalah Komodo. Dengan kondisi daerah yang kering, dengan sumberdaya pakan sangat terbatas dan keberadaan predator, bagaimana monyet ekor panjang bertahan hidup dengan memanfaatkan ruang? Apakah monyet ekor panjang akan banyak berada di atas pohon daripada di bawah untuk menghindari predator sekaligus mencari makan? 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryan, mencoba untuk mengetahui ukuran populasi dan perilaku makan monyet yang hidup secara liar di habitat alaminya pada ekosistem hutan tropis kering di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran kelompok monyet di Pulau Rinca cukup besar untuk habitat yang serba terbatas (50 individu/kelompok) dengan jumlah infant (bayi) yang relatif kecil karena pengaruh ketersediaan pakan dan keberadaan predatornya, yaitu Komodo (Varanus comodoensis). Jenis pakan monyet di Pulau Rinca juga kurang beragam (ID Shannon-Wiener= 2,23) dibandingkan dengan habitatnya di Kalimantan Timur yang lebih basah dimana sumberdaya pakan tersedia lebih melimpah. Monyet di Pulau Rinca banyak menghabiskan waktunya untuk bergerak (31%) dibandingkan untuk makan (26%) disebabkan karena habitatnya berupa hutan yang tersebar secara patchy, sehingga menyebabkan ia lebih banyak berpindah. Sebagian besar waktu makannya digunakan di bagian terluar tajuk dan lantai hutan. Di bagian ini banyak terdapat buah Bidara (Zizyphus jujuba) dan Asam (Tamarindus indica) yang matang dan terjatuh, sehingga monyet lebih memilih memungutnya dibandingkan harus memanjat pohon untuk mendapatkan makanan.

Penelitian lebih lanjut apakah biawak komodo benar-benar memangsa monyet dan menyebabkan jumlah infant yang lebih kecil daripada juvenile dan adult nampaknya akan bisa memberikan konfirmasi peran predator sebagai pengatur populasi monyet ekor panjang. Apabila benar, maka keberadaan populasi monyet ekor panjang akan memegang peran penting bagi populasi Komodo. Dengan demikin pengelolaan Biawak Komodo yang terancam punah tersebut, perlu dipikirkan juga upaya mengelola monyet ekor panjang.


Judul Penelitian       : Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Ekosistem Hutan Tropis Kering di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo
Peneliti                       : Ryan Adi Satria
Kontak                        : ryanadisatria@gmail.com

Jumat, 10 Januari 2014

Gajah Ternyata Lebih Memilih Menghindar: Respon Perilaku Gajah Terhadap Tekanan Habitat



 



Gajah Sumatera yang merupakan salah satu sub spesies gajah Asia, saat ini digolongkan sebagai satwa yang memiliki status terancam punah berdasarkan IUCN.  Salah satu kantong gajah yang penting di propinsi Riau adalah di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Sayangnya, sebagian hutan tropis yang ada di kawasan taman nasional ini, telah di konversi menjadi kebun sawit dan menimbulkan konflik manusia dan gajah. 

Banyaknya kasus konflik antara gajah dengan manusia yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, menunjukkan adanya tumpang tindih antara keperluan hidup gajah dengan manusia. Untuk mengetahui respon gajah terhadap aktivitas manusia di dalam habitatnya, ari melakukan penelitian pada Maret  2013 dengan tujuan untuk mengetahui penggunaan waktu aktif dan persebaran gajah pada daerah yang berbatasan dengan wilayah yang dimanfaatkan manusia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data hasil pemasangan kamera jebak (camera trap) pada tahun 2011.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gajah menggunakan waktu aktif pada siang maupun malam hari (cathemeral), namun terdapat kecenderungan bahwa gajah menggunakan waktu aktif siang hari pada wilayah yang tidak terdapat aktivitas manusia dan menggunakan waktu aktif malam hari pada wilayah terdapat aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa gajah menghindari perjumpaan langsung dengan manusia. Sedangkan persebaran gajah cenderung berada pada wilayah hutan alam sebagai habitat alaminya yang berbatasan dengan wilayah perambahan maupun kebun di sekitar pemukiman.  Gajah menyukai wilayah tersebut karena terdapat variasi pakan yang lebih banyak dan gajah lebih mudah dalam pergerakannya. Gajah memberikan respon terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya dengan pemilihan waktu aktif dan pemilihan habitat untuk tetap mempertahankan keberlanjutan hidup kelompoknya pada wilayah yang memberikan tekanan pada populasi ini.

Judul skripsi    : Waktu Aktif Harian Dan Persebaran Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Pada Daerah Tepi  Di Taman Nasional Tesso Nilo, Propinsi Riau
Peneliti                        : Ari Tri Sewaras Hati
Contact                       : sewarashati@gmail.com

Penelitian ini didukung oleh WWF Riau dan Laboratorium Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM