Selasa, 30 Oktober 2012

Karakter Habitat Primata Terkecil di Sekitar Rawa Gambut Tanjung Puting




Tarsius sp. merupakan satwa terkecil sekaligus satwa aboreal yang menghabiskan sebagian besar aktivitasnya berada di pepohonan. Panjang tarsius borneo dewasa berkisar antara 12,9 sampai dengan 13,2 cm. Sering juga disebut binatang hantu, karena hewan ini sangat susah ditemui, terkadang hanya suara dan urine yang menjadi pertanda kehadirannya. Tarsius bancanus lebih pasif dalam bersuara, tidak seperti Tarsius spectrum yang dapat dengan jelas diketahui keberadaannya dari “paduan suara keluarga” yang mereka lakukan menjelang pergantian siang dan malam. Tanjung Puting yang dominasi kawasannya merupakan rawa berbeda dengan karakter habitat lokasi manapun yang pernah dilakukan penelitian mengenai Tarsius sp. khususnya Tarsius bancanus borneanus. Bagaimanakah karakter habitat tarsius di kawasan rawa Tanjung Puting?


Untuk mengetahui karakter habitat tarsius di rawa, pada akhir Oktober sampai dengan Desember 2011 dilakukan penelitian di dua lokasi yaitu Pondok Ambung dan Tanjung Harapan, Tanjung Puting. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa tarsius lebih suka kawasan dengan dominansi kelas hidup tiang dengan sedikit pohon didalamnya dan pada kawasan 0-3 meter dari permukaan tanah. Kondisi tersebut sangat ideal bagi tarsius karena diketinggian 0-3 meter dapat meminimalkan persaingannya dengan kukang. Disamping itu penutupan semak yang rapat pada ketinggian 0-3 meter menjadi pelindung bagi tarsius dari pedatornya, yaitu burung hantu.

Judul Skripsi : Karakteristik Habitat Tarsius Borneo (Tarsius bancanus borneanus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.
Peneliti : Mas’ud A. Ashari
Contact : masudashari@yahoo.com

Minggu, 29 April 2012

LIFE AFTER MERAPI ERUPTION: The Return of The Long-tailed Macaque




by : Choiriatun Nur Annisa

November 2010 was the latest big eruption of one of the most active volcano mountains in the world, Gunung Merapi. As the last remaining forest in Yogyakarta, it compromises the habitat for many species including primates. Tlogo Muncar and Tlogo Nirmolo are known as two important habitat of the long-tailed macaque. The Tologo Muncar was affected by eruption, whereas  Tlogo Nirmolo was not. Were they able to survive from the eruption? How’s their life after the devastation? Did they come back to their original habitat?
In February 2011, the author conducted a field work to investigate the population size after eruption. Concentration counts was applied to counts number of individuals, due to very steep topography in the study area. The number of individuals in Tlogo Muncar was higher than before  which should be lower than previous number. Suprisingly, the Tlogo Muncar population even was far higher than Tlogo Nirmolo Population .

vegetation conditions after eruption in Tlogo Muncar

To investigate further explanation why Tlogo Muncar population is higher than Tlogo Nirmolo population, Annisa collected vegetation data using point centered quarter method, collecting evidence of other habitat factors such as water and covers. Five out of 13 feeding species were still found in Tlogo Muncar and either the most frequent also most dominant species were eaten by the macaque. It seems that food is not the limitation factors for the population because this population experienced food supplementation from tourist. Water and covers were also still supporting this population. Although Tlogo Muncar and Tlogo Nirmolo are neighbouring areas, the vegetation in both locations were not close similar, based on the assessment using Sorensen similarity index. Even, the most dominant species and frequent species in both location were different.
Long-tailed macaque population in Tlogo Nirmolo

 Furthermore, Annisa tried to compare population structure. She found that the group size in Tlogo Nirmolo was female deficit. It indicated a high competition between male to get female, and low birth rate. The less number of infant and juvenil in Tlogo Nirmolo was also the evidence. In Tlogo Muncar, the female was still higher than the male. Therefore, the competition would not be as high as in Tlogo Nirmolo. The indication was also from the number of infant and juvenile that was still high (40,8%) in Tlogo Muncar. Another explanation is the ability of long tailed macaque to disperse and avoid effect of eruption. When, the eruption attacked, they might be migrate to somewhere safe as being reported by the official, then came back as soon as it sprouted. From the observation, it seemed that sprouting was not taking long time. Survey on 12 January 2011 in Tlogo Muncar found that some ‘dead’ trees had sprouted. In addition, only one individual was reported death from the eruption. Indicating, that the population of long tailed macaque in Tlogo Muncar was able to survive from the eruption. 

contact: cn.annisa@yahoo.co.id

Selasa, 27 Maret 2012

Merapi Pasca Erupsi : Bagaimana Herpetofauna Bertahan Hidup?



Tentu masih segar dalam ingatan kita, letusan besar Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 yang lalu, yang memuntahkan material vulkaniknya sehingga merusak apapun yang dilewatinya, termasuk satwa dan tumbuhan yang ada. Herpetofauna merupakan kelompok satwa yang rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam. Sebelum erupsi Gunung Merapi tahun 2010, di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), setidaknya telah ditemukan sebanyak 20 jenis herpetofauna, dan empat diantaranya adalah endemik Indonesia. Bagaimanakah kondisi komunitas herpetofauna di TNGM paska erupsi gunung Merapi 2010?

Untuk mengungkap kondisi komunitas herpetofauna paska erupsi, pada bulan Mei-Juli 2011 dilakukan sebuah penelitian dengan melakukan survey pada kawasan yang kelas kerusakan vegetasinya karena erupsi tergolong ringan. Kawasan ini merupakan lokasi dengan potensi biodiversitas tertinggi. Meskipun sisa-sisa erupsi masih terlihat di sekitar lokasi penelitian, ternyata jenis-jenis yang ditemukan masih cukup banyak, bahkan beberapa jenis merupakan catatan baru di TNGM. Penelitian ini berhasil menemukan 15 jenis amfibi dan sembilan jenis reptil. Sebelas jenis diantaranya merupakan endemik Indonesia, termasuk jenis Megophrys montana dan Rhacophorus margaritifer yang adalah endemik jawa. Jenis Limnonectes macrodon yang saat ini tercatat dalan daftar merah IUCN sebagai rentan terhadap kepunahan juga merupakan salah satu jenis yang baru ditemukan di TNGM dan sekaligus endemik di Indonesia.
Selain data komunitas herpetofauna, penelitian ini juga mengkaji karakteristik vegetasi yang mempengaruhi kelimpahan herpetofauna. Hasilnya penutupan horizontal tumbuhan bawah, kepadatan vertikal semak, dan kepadatan vertikal pohon signifikan berpengaruh.
Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa Taman Nasional Gunung Merapi memang merupakan salah satu benteng pertahanan yang baik bagi herpetofauna. Terbukti masih banyak jenis-jenis herpetofauna yang bisa bertahan hidup meskipun merapi belum lama menunjukkan kedasyatan letusannya.


Judul skripsi :
“Keanekaragaman Jenis Herpetofauna dan Karakteristik Vegetasi yang Berpengaruh Terhadap Kelimpahannya di Taman Nasional Gunung Merapi Paska Erupsi 2010”

Peneliti: Agus Sudibyo Jati
Email : natrixvittata@yahoo.co.id

Senin, 26 Maret 2012

Ketika Habitat Menyempit: Mampukan Burung Mandar Besar Memilih Habitat?



Burung Mandar Besar termasuk burung-burung yang tinggal di air. Ukurannya sebesar menthog, tubuhnya berwarna biru hitam dengan paruh dan kaki berwarna merah.  Termasuk burung pemalu sehingga agak sulit dijumpai. Burung ini menyukai daerah basah seperti rawa untuk tinggal, bersembunyi, dan mencari makan berupa tanaman air muda, maupun serangga air, semut, molusca, dan lain-lain.  Di Pulau Jawa hutan rawa hanya seluas 0,01% dari luas daratan. Hutan ini makin menyempit karena alih fungsi lahan menjadi area pemukiman maupun tambak. Kondisi ini tentu mengancam keberadaan burung air pada umumnya. Apabila habitat masih tersedia banyak dan luas, satwa akan melakukan pemilihan lokasi-lokasi yang dijadikan tempat beraktivitas. Namun apakah dengan menyempitnya habitat, apakah burung mandar mampu memilih habitat? Kalau mampu, bagaimana burung Mandar Besar melakukan pemilihan habitatnya? 


Untuk menjawab pertanyaan ini, Sitta Azizah, sewaktu masih mahasiswa di Fakultas Kehutanan UGM melakukan penelitian dengan mengikuti pergerakan burung ini. Penelitian dilakukan di Hutan Rawa Pantai Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. Kawasan ini pada masa lalu merupakan rawa, namun kini masyarakat memanfaatkan area ini menjadi sawah dan hanya menyisakan rawa seluas 20% dan hutan mangrove 3% dari keseluruhan luas kawasan.

Menggunakan transmitter dan receiver, dengan terlebih dahulu menangkap burung jenis ini, Sitta mengikuti pergerakannya. Dengan transmitter kita bisa mengetahui posisi burung dengan suara yang ditimbulkan dari alat tersebut. Sehingga diketahui lokasi-lokasi yang digunakan burung mandar besar. Selama 3 bulan, dari bulan Oktober hingga Desember 2009, Burung Mandar Besar menggunakan beberapa tipe vegetasi yaitu  hutan rawa, hutan mangrove, dan sawah. Burung mandar besar menunjukkan lebih banyak memanfaatkan rawa sebagai aktivitas utamanya. Hutan rawa dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup burung tersebut meliputi tempat perlindungan, istirahat, membangun sarang, dan sumber pakan.



Kurangnya perhatian maupun penelitian mengakibatkan belum adanya status perlindungan terhadap spesies ini. Meskipun persebarannya di dunia luas namun burung ini memiliki sifat pemilihan habitat yang dapat membatasi ruang hidup burung ini. Oleh karena itu keberadaan rawa di Hutan Rawa Pantai Kecamatan Ngombol perlu untuk dipertahankan khususnya bagi kelangsungan hidup burung Mandar Besar.

Judul Asli Skripsi Pemilihan Habitat Burung Mandar Besar (Porphyrio porphyrio) Di Hutan Rawa Pantai Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. 
Skripsi S1 
Peneliti: Sitta Yusti Azizah
Email:

Kamis, 23 Februari 2012

ORANGUTAN MENJADI AGRESIF DENGAN ADANYA KEGIATAN WISATAWAN


 

Oleh : Dewi Rebecca Nury



Benarkah wisata selalu menguntungkan bagi semua pihak, terutama dilihat dari perilaku satwa?

Itulah pertanyaan yang ingin dijawab melalui pelaksanaan penelitian ini. Saya yakin bahwa kita semua sudah mengetahui bahwa orangutan itu adalah salah satu satwa asli Indonesia (endemik) yang sangat terancam punah. Sudah berbagai upaya yang dilakukan dalam usaha penyelamatan orangutan, namun terkadang tanpa disadari usaha ini kurang tepat atau bahkan dapat berdampak negatif bagi satwa itu sendiri. Salah satu usaha ini adalah dengan mengembangkan wisata di dalam kawasan pelepasliaran orangutan. Sekilas dari segi ekonomi, wisata sangat menguntungkan, akan tetapi apabila tidak dikelola dengan baik satwa akan menjadi agresif bahkan membahayakan keselamatan manusia itu sendiri.

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang sama-sama merupakan lokasi pelepasliaran orangutan, yaitu Camp Leakey di Taman Nasional Tanjung Puting yang ramai dikunjungi orangutan dan Camp Siswoyo di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan wisata. Diperkirakan bahwa perilaku orangutan di kawasan yang tidak ada wisata lebih mendekati perilaku alami orangutan liar atau bukan eks rehabilitan dan berperilaku agresif daripada perilaku orangutan yang berada di kawasan wisata. Data yang dicari dalam penelitian ini adalah jenis dan aktivitas wisatawan serta perliku orangutan yang dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu pengamatan perilaku harian orangutan secara kontinyu mulai saat orangutan bangun tidur pada pagi hari atau shubuh sampai ia tidur kembali pada sore hari dan pengamatan langsung terhadap wisatawan pada saat mereka berada di lokasi maupun secara tidak langsung dengan kuisioner.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas utama pengujung ke Camp Leakey adalah untuk melihat orangutan. Selain itu, sebagian besar pengunjung berasal dari luar negeri. Apabila dilihat dari segi perilaku harian, orangutan di Camp Leakey memiliki perilaku harian yang berbeda dengan perilaku orangutan liar apabila dibandingkan dengan orangutan di Camp Siswoyo serta cenderung lebih agresif ketika bertemu dengan manusia. Bahkan orangutan akan menyerang pengunjung. Setiap hari pengunjung yang datang untuk melihat orangutan dapat mencapai puluhan, sedangkan pengunjung-pengunjung ini tidak mematuhi peraturan yang sudah ada. Orangutan diberi makan, dipeluk, bahkan digendong. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya yang perlu ditanyakan adalah SIAPAKAH YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERUBAHAN PERILAKU ORANGUTAN? Wisata di Camp Leakey sangat perlu dipertanyakan kelayakannya untuk mendukung usaha konservasi orangutan, sehingga perlu dikembangkan ekowisata satwa liar, dalam hal ini ekowisata yang mendukung konservasi orangutan.

Judul asli skripsi:  Pengaruh Wisatawan Terhadap Perilaku Orangutan (Pongo Pygmaeus) Di Lokasi Pelepasliaran Camp Leakey Dan Camp Siswoyo, Kalimantan Tengah
email: cutezzy_87@yahoo.com

Senin, 20 Februari 2012

BURUNG SEBAGAI BIOINDIKATOR DI KAWASAN PERKOTAAN

oleh:
Febri Anggriawan Widodo


Apa yang anda ketahui tentang keberadaan satwa burung dikawasan perkotaan? Burung merupakan satwa yang mudah beradaptasi dan mampu hidup diberbagai kondisi habitat salah satunya di kawasan perkotaan. Satwa ini dapat menjadi bioindikator lingkungan sehingga sangat mungkin digunakan sebagai Early Warning System.  


“Kirik – kirik biru berdasarkan literatur sangat jarang ditemui di Sunda Besar. Mengapa ini bisa ditemui di lokasi penelitian ini?”


  
Nah, satwa burung dapat digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan seperti pada penelitian yang berjudul “Keanekaragaman Jenis Burung Serta Nilai Konservasi Berbagai Penggunaan Lahan Perkotaan di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Hasilnya sebagai acuan terhadap Rencana Tata Ruang di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga dapat diketahui dari komposisi serta kehadiran satwa burung pada berbagai penggunaan lahan perkotaan yang ada. Lokasinya. Berdasarkan penggunaan lahanya kawasan ini dibagi menjadi delapan klaster sesuai penggunaan lahan yang ada. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Point Counts yaitu pengamatan tiap jarak 200 meter dengan cara mencatat semua jenis burung yang masuk dalam radius 30 meter selama 10 menit pada waktu pagi dan sore. Mudah bukan?



Peta hasil evaluasi tata ruang berdasarakan keanekaragaman jenis burung dan nilai konservasinya

Penelitian ini menunjukkan peran manusia melalui penggunaan lahan sangat besar terhadap Keanekaragaman satwa burung. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa kawasan perkotaan sangat jarang ditemui beragam jenis burung. Namun penelitian ini menunjukkan hasil sebaliknya dengan jenis burung perkotaan yang sangat beragam, mulai dari jenis pemakan biji hingga jenis pemakan ikan dan terdiri dari 32 jenis seperti Burung gereja eurasia, Cekakak jawa, Kipasan belang, bahkan Kirik – kirik biru yang sangat jarang ditemui di Sunda Besar.  Kawasan yang memiliki tutupan vegetasi yang tinggi seperti sempadan sungai dan ruang terbuka hijau mampu menjaga keberadaan satwa burung. Selain itu kawasan yang dijaga vegetasinya serta dilindungi dari aktifitas perburuan mampu menjadi sanctuary dan refuge terhadap satwa burung seperti di kawasan pusat pemerintahan yaitu pendopo Kabupaten Kudus. Oleh karena itu untuk menjaga keanekaragaman satwa burung perkotaan, didalam Rencana Tata Ruang Kota yang ada harus mampu menjaga keberadaan satwa ini dan habitatnya.  Penelitian ini menarik karena mampu memadukan unsur tata ruang baik struktur maupun pola ruang dengan unsur keanekaragaman hayati.
Judul Asli skripsi: Keanekaragaman Jenis Burung dan Nilai Konservasi Berbagai Penggunaan Lahan Perkotaan di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus.
email :